
Membangun Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Pekerja Sektor Informal
Jakarta, (1/5) - Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 menegaskan bahwa pekerja informal adalah orang yang bekerja tanpa relasi kerja, tidak memiliki perjanjian yang mengatur elemen kerja, upah dan kekuasaan. Sementara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan bahwa pekerja informal adalah yang diberi kerja oleh unit usaha yang tidak terdaftar, status usaha sendiri, milik keluarga, pekerja paruh waktu dan pekerja yang tidak terdaftar. Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 mencatat bahwa pekerja informal Indonesia mengalami peningkatan. Pada Februari 2021 jumlahnya mencapai 78,14 juta orang, dibandingkan Agustus 2020 sebanyak 77,68 juta orang. Ini berarti ada kenaikan 2,64 juta orang. Informalitas mengancam hak-hak pekerja akibat terbatasnya akses informasi, modal, fasilitas usaha dan akses ke sumberdaya lain. Bahkan pandemi Covid-19 telah meningkatkan penganggur menjadi 9,1 juta dan jumlah pekerja informal dari 71,96 juta menjadi 77,91 juta per Agustus 2021.Laporan ILO 2021 menyebut hilangnya pekerjaan secara besar-besaran telah berdampak buruk pada ketimpangan ekonomi kaum muda dan perempuan pekerja di sektor informal. Pertumbuhan lapangan kerja pun tidaklah mengatasi kesenjangan ekonomi akibat krisis ekonomi dan pandemi. Pemulihan ekonomi yang terjadi dengan tidak merata antar-individu, keluarga, dan antar-wilayah provinsi berdampak pada meningkatnya pekerja informal. Berdasarkan hasil konsultasi perempuan pekerja informal, diketahui bahwa penghasilan rata-rata mereka mulai dari Rp 20.000 hingga Rp150.000 per hari. Penghasilan tersebut selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Namun, jika tidak mencukupi para perempuan harus meminjam ke tetangga, koperasi, kedai, pinjaman online, rentenir/tukang kredit yang ada.Penghasilan upah tersebut sangat berkorelasi dengan standar kesejahteraan hidup dirinya dan keluarganya. Perempuan selain bekerja mencari nafkah juga dituntut mengurus keluarganya di rumah dan mengalami multibeban. Mereka akan memiliki waktu kerja lebih panjang sehingga tidak cukup untuk istirahat. Pekerja informal sebagai pekerja pun rentan akibat tidak adanya perlindungan hak dasar seperti perlindungan sosial, jam kerja dan tempat kerja, jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan, upah tidak layak, tidak memahami haknya dan jaminan sosial lainnya.Ketidakadilan gender dan ketidakadilan ekonomi telah membatasi akses perempuan terhadap sumberdaya ekonomi dan sumber–sumber kehidupan lainnya. Meningkatnya penguasaan tanah oleh perusahaan dan negara melalui proyek-proyek pembangunan telah mengambil dan menggusur sumber penghidupan perempuan. Selain itu, rendahnya akses terhadap sumber penghasilan; terbatasnya akses kepemilikan dan pemanfaatan tanah pertanian; akses melaut; akses informasi dan pendidikan tinggi; akses modal dan fasilitas usaha; dan tidak adanya perlindungan kerja layak dan jaminan sosial bagi pekerja informal turut memberikan dampak bagi perempuan.Situasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang dialami oleh perempuan termasuk perempuan pekerja informal disabilitas, juga telah mempengaruhi peran dan posisinya dalam keluarga, lingkungan komunitas hingga negara. Perempuan seringkali mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Mereka juga seringkali dikucilkan, mendapatkan penghinaan, didiskriminasi dan dilabeli negatif oleh keluarga dan lingkungannya karena kemiskinan. Bahkan perempuan juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam upaya mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan pelayanan program subsidi pemerintah. Terutama, mereka yang termasuk tidak mendukung proyek pembangunan yang telah merampas tanah atau sumber hidup di wilayahnya. Kegagalan pemerintah dalam mendukung pekerja di sektor informal telah meningkatkan jumlah penduduk miskin dan membuat mayoritas perempuan bekerja di sektor informal. Informalitas terjadi akibat ketidakmampuan negara menciptakan lapangan kerja formal. Pekerjaan informal lantas menjadi pilihan yang menyulitkan bagi perempuan dalam melanjutkan kehidupan di tengah krisis dan kemiskinan, serta meningkatkan kekerasan memperburuk kehidupan perempuan.Untuk itu, Aksi! for gender, social and ecological justice, dalam momen Hari Buruh Internasional ini, menuntut pemerintah untuk:
- Memberi pengakuan dan perlindungan hak pekerja informal serta peningkatan akses dan kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan baik pada tingkat kebijakan maupun tingkat program mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program atau proyek-proyek pembangunan.
- Memberikan akses informasi yang berkaitan dengan hak sebagai warga negara, sebagai perempuan dan sebagai pekerja dalam pengelolaan sumberdaya atau sumber-sumber penghasilan termasuk program-program pelayanan atau program subsidi pemerintah.
- Memberikan jaminan perlindungan sosial yang inklusif dan pemenuhan hak dasar seperti jaminan upah layak, jam kerja, kecelakaan kerja, kesehatan dan jaminan sosial lainnya untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan hidup tanpa diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
- Mencabut Undang-Undang Cipta Kerja yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan dan eksploitasi SDA, serta mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan, termasuk meningkatkan kriminalisasi bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan.
- Mendukung inisiatif kemandirian usaha ekonomi mikro yang dikembangkan oleh perempuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau meningkatkan kesejahteraan hidup perempuan dan keluarganya.
- Mengakui dan mendukung inisiatif-inisiatif perempuan dalam pengembangan ekonomi dan menjaga sumber-sumber ekonomi komunitas.
- Menjamin perlindungan ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal dengan menjamin akses ketersediaan fasilitas usaha, akses izin usaha, akses modal dan pasar serta akses sumberdaya lain untuk memperkuat inisiatif kemandirian ekonomi perempuan.