Indonesia di COP29: Keadilan Iklim atau Ajang Bisnis?

Jakarta, 18 November 2024 – COP29 di Baku, Azerbaijan, menjadi pertemuan penting dalam perjalanan panjang pembahasan krisis iklim global. Namun, kami dari Aksi! for gender, social, and ecological justice menggarisbawahi bahwa tujuan ideal pembiayaan iklim kini semakin melenceng dari semangat keadilan iklim yang diusung sejak KTT Bumi 1992.  

Pada KTT Bumi 1992, pembiayaan iklim didasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities (CBDR). Prinsip ini menegaskan bahwa perubahan iklim adalah tanggung jawab bersama, tetapi tanggung jawab ini harus dilaksanakan sesuai kapasitas masing-masing negara. Selanjutnya, pembiayaan iklim juga didefinisikan sebagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.  

Namun, realitas yang terjadi di COP29 memperlihatkan bagaimana krisis iklim, yang seharusnya menjadi fokus penderitaan masyarakat terdampak, justru dimanfaatkan sebagai peluang bisnis oleh banyak pihak. Lebih dari 1.770 pelobi bahan bakar fosil terdaftar sebagai peserta resmi, termasuk perusahaan-perusahaan seperti Chevron dan ExxonMobil, yang merupakan kontributor utama krisis iklim. Ironisnya, jumlah ini jauh melebihi delegasi dari 10 negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang hanya mengirimkan 1.033 delegasi.  

Delegasi Indonesia sendiri menampilkan pola serupa. Paviliun Indonesia di COP29 dipuji sebagai paviliun termewah, namun kenyataannya didanai oleh perusahaan-perusahaan yang turut berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Alih-alih memperjuangkan solusi berbasis masyarakat, delegasi Indonesia fokus menawarkan investasi untuk proyek-proyek seperti PLTN, yang minim dampak langsung bagi masyarakat terdampak.  

Perjalanan pembiayaan iklim menunjukkan bagaimana tanggung jawab negara maju mulai dialihkan. Mekanisme fleksibel seperti perdagangan karbon yang dimulai sejak Kyoto Protocol 1997 hingga mekanisme pendanaan melalui Green Climate Fund (GCF) menunjukkan bahwa dana yang seharusnya membantu adaptasi dan mitigasi justru sering kali disalurkan untuk investasi pasar.  

Pendanaan iklim untuk Indonesia, misalnya, menunjukkan pola serupa. Dari 16 proyek yang diklaim didanai oleh GCF, hanya tiga yang berfokus pada kebutuhan Indonesia secara langsung. Sisanya adalah proyek lintas negara yang minim transparansi dan sulit dipantau dampaknya. Proyek-proyek ini lebih banyak didominasi oleh mitigasi, bukan adaptasi, dengan manfaat nyata bagi masyarakat lokal yang masih dipertanyakan.  

Kami mendesak agar COP29 tidak lagi menjadi ajang promosi bisnis yang mengabaikan kebutuhan masyarakat terdampak. Berikut adalah tuntutan kami:  

  1. Prinsip CBDR harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan dan pendanaan iklim.  
  2. Pendanaan harus berbentuk hibah, bukan utang atau skema pasar lain yang hanya menguntungkan negara maju.  
  3. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana harus ditingkatkan, termasuk melibatkan masyarakat terdampak, perempuan, dan komunitas adat dalam perencanaan proyek.  
  4. COP29 harus memperkuat mekanisme *loss and damage* untuk memberikan kompensasi yang adil bagi negara berkembang.  
  5. Fokus pendanaan harus diarahkan pada solusi berbasis komunitas untuk meningkatkan ketahanan sosial-ekologis.  

Krisis iklim adalah masalah bersama yang membutuhkan tanggung jawab nyata dari negara maju. Kami mengajak semua pihak untuk memastikan bahwa COP29 menjadi titik balik menuju keadilan iklim yang sesungguhnya.  

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Renie Aryandani (082292282338)

Public Information and Communication Staff

Aksi! for gender, social and ecological justice.