
Pengelolaan Pajak yang Buruk adalah Kekerasan Terhadap Perempuan
Jakarta, 6 Desember 2024 – Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Aksi! for gender, social, and ecological justice menyoroti pentingnya keadilan pajak sebagai elemen kunci dalam mendukung upaya penghapusan kekerasan berbasis gender. Isu kekerasan terhadap perempuan dan keadilan pajak saling terkait erat melalui kebijakan fiskal yang mempengaruhi alokasi anggaran untuk perlindungan perempuan dan layanan publik. Kekerasan ini tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga melalui kebijakan yang menyebabkan pemiskinan dan marginalisasi perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat miskin, yang tidak mendapatkan layanan publik setara dengan pajak yang mereka bayarkan.
Target pendapatan negara pada RAPBN tahun 2025 sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari; Penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun, PNBP sebesar Rp505,4 triliun dan Penerimaan hibah sebesar Rp0,6 triliun. Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp3.613,1 triliun. Defisit Anggaran sebesar Rp 616,2 triliun.
Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun, mengambil utang sebesar Rp 6.000 an triliun, paling besar lewat Surat Berharga Negara (SBN). Total utang jika ditambahkan masa pemerintah SBY menjadi sebesar 8.000 an triliun; Pembayaran bunga utang pemerintah terus meningkat, untuk tahun 2025 pemerintah harus membayar sebesar Rp 775,9 triliun, seperlima (21,5%) dari pengeluaran negara dipakai untuk bayar utang. Kemana pemerintah memenuhi target pendapatan negara dan bagaimana memenuhi defisit anggaran?
Salah satu strategi pemerintah adalah memperluas basis perpajakan, salah satunya adalah dengan peningkatan PPN 12%. Peningkatan pendapatan negara akan bertambah lebih kurang sebesar Rp 80 triliun. Masalahnya, kenaikan ini justru memperburuk situasi masyarakat karena inflasi tidak hanya naik 1% tapi bisa berkali lipat. Ketika terjadi kenaikan PPN 1% di April 2022, kenaikan barang dan jasa naik berkisar 5,5%. Perempuan yang sebagian besar bekerja di sektor informal seperti pedagang gorengan, penjual sayur, petani, nelayan, dan lainnya akan meningkat ongkos produksinya mulai dari bahannya hingga ongkos angkutnya/jasa yang rata-rata naik berkisar 10-30%. Sementara saat ini banyaknya pekerja yang di PHK berdampak pada daya beli yang lemah, yang terlihat pada angka deflasi selama bulan April-September 2024. Menurut berbagai hasil penelitian, tekanan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan, dan korban terbanyak adalah perempuan dan anak.
Cara pemerintah menaikkan 12% adalah cara yang paling gampang untuk mendapatkan pendapatan negara karena langsung dipotong dari konsumen, padahal banyak cara-cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan peningkatan rasio pajak diantaranya dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penagihan pajak inkrah, pendapatan dari illegal mining, menghilangkan insentif pajak pengusaha, dan lain sebagainya.
Dari sini pemerintah sudah bisa menutupi defisit anggaran. Masalahnya pemerintah tidak mau berhadapan dengan para pengusaha dan pengemplang pajak, malah berencana melakukan Tax Amnesty 3 (pengampunan pajak) dan membebaskan orang-orang kaya dari hukuman pengemplang pajak.
“Rencana kenaikan PPN ke 12% saat ini tidak tepat karena berdampak buruk pada masyarakat terutama perempuan, selain lemahnya daya beli masyarakat karena pendapatan yang berkurang di sektor informal juga banyak PHK di sektor formal. Jangan lagi masyarakat yang dirongrong dengan kenaikan pajak, seharusnya pemerintah fokus pada pajak orang kaya dan perusahaan, bukan malah berencana menurunkan pajak perusahaan dari 22% ke 20%, dan membuat Tax Amnesty” -Marhaini Nasution, Aksi! for gender, social, and ecological justice.
Pentingnya Keadilan Pajak – Keadilan pajak berperan penting dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan memastikan alokasi anggaran responsif gender dan mendukung redistribusi kekayaan untuk mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi.
“Silahkan Negara memungut pajak dari rakyat tetapi ingat, harus dilandasi dengan konsep sistem pajak yang berkeadilan, dan yang paling dituntut adalah sikap bijaksana artinya pajak itu untuk kesejahteraan dan kepentingan masyarakat” -Ni Nengah Budawati, LBH WCC Bali.
Kami menyerukan:
- Tolak rencana kenaikan PPN 12% untuk semua barang dan jasa termasuk Kebutuhan Perempuan. Pajak atas barang-barang kebutuhan dasar dan produk penting bagi perempuan harus dihapus. Sebaliknya, pajak barang mewah perlu dinaikkan dan diperketat pelaksanaannya.
- Alokasi Anggaran yang Pro-Perempuan. Anggaran negara harus dialokasikan untuk program perlindungan perempuan, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial, yang mampu memberdayakan perempuan dan mencegah kekerasan.
- Pemerintah harus mencari penerimaan negara dengan cara yang kreatif, bukan dengan utang baru apalagi menaikkan PPN. Usut perusahaan pengemplang pajak, tagih pajak yang sudah inkrah, usut kehilangan pajak dari tambang ilegal, hapus insentif pajak perusahaan!
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Renie Aryandani (082292282338)
Public Information and Communication Staff
Aksi! for gender, social and ecological justice.