
Mengakhiri Ketimpangan Ekonomi dan Gender Melalui Pengakuan kerja layak, perlindungan sosial dan akses air bersih bagi perempuan
Jakarta, 11 Juni 2024. Aksi! For Gender, Social and Ecological Justice telah mengadakan dialog multi pihak dengan mengundang para pihak khususnya pengambil keputusan berkaitan persoalan yang dihadapi oleh perempuan miskin kota Jakarta. Dialog multipihak ini diharapkan lahir pemikiran-pemikiran yang bisa dipahami bersama oleh para pemangku kepentingan dan usaha-usaha untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan gender di DKI Jakarta. Dialog multipihak menghadirkan lebih dari 50 perempuan yang tersebar di Jakarta.Para tamu undangan yang hadir dalam pleno adalah Ecih Kusumawati “Nenek Della”, perempuan komunitas pejuang air; Dr.drg Heny Mayawati MK3, Kepala Pusat Hiperkes dan Kesehatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta; Bapak Aris Pujianto, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DPPAPP) Provinsi DKI Jakarta; Tetty Widayantie, BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta; Sigit, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA). Sementara dalam workshop pekerja informal menghadirkan Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Pemprov DKI Jakarta; Neni Herlina Rafida, SKM, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta; Een Sunarsih, Koperasi Produsen Perempuan Pekerja Rumahan Jakarta; Dian Novianti, Perempuan Pekerja Rumahan; Sherli Aplonia, Perempuan pekerja informal dan korban penggusuran kampung Bayam; Halimah, Perempuan komunitas pejuang air bersih. Kemudian dalam workshop akses terhadap sumber daya alam menghadirkan Bpk. Imam Fitrianto, S.TP, M.E.Sc. Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Pemprov DKI Jakarta; Ikoh Maufikoh, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta; Rival Kartinaldi, BNI KCP Elang Laut Jakarta Utara; Tati, perempuan nelayan pengupas kerang Muara Angke; Asmania, perempuan nelayan Pulau Pari. Adapun undangan telah disampaikan langsung kepada Dinas Sosial DKI Jakarta dan Jakpro, namun tidak hadir dalam agenda dialog multipihak.Aksi! for gender, social and ecological justice bersama perempuan komunitas telah memotret persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan dari berbagai sektor dan latar belakang. Pada kegiatan tersebut, para perempuan berbagi informasi dan mencari tahu sebab-akibat dari persoalan ketimpangan ekonomi dan gender yang dihadapi, serta membangun rekomendasi dan perubahan yang diinginkan oleh perempuan untuk disampaikan pada para pengambil kebijakan, baik di level daerah/kota hingga nasional. Para perempuan di DKI Jakarta menghadapi situasi dan persoalan yang berlapis. Perempuan miskin kota pekerja informal dan nelayan pesisir kota Jakarta memiliki keterbatasan untuk mengakses, mengelolah dan mendapat manfaat dari sumber hidup dan kehidupannya seperti akses ketersediaan air bersih dan akses melaut. Hal ini disebabkan karena masifnya pembangunan infrastruktur dan iklim yang menggusur tempat tinggal dan menghilangkan sumber penghasilan perempuan nelayan, diantaranya pembangunan reklamasi pantai Jakarta, pembangunan tanggul raksasa, pembangunan banjir kanal dan penanganan persoalan sosial yang tidak pernah diselesaikan, seperti Kawasan Kawasan ilegal penduduk pendatang. Isu-isu tersebut memicu penggusuran tempat tinggal, lahan/wilayah, dan sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir pasir pantai dan pulau pari di DKI Jakarta.Situasi lain adalah perempuan miskin kota sebagian pekerja informal baik sebagai pedagang kaki lima, pedagang kecil, penjaga parkir, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, pemulung dan ojek online tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan perumahan/sewa rumah, transportasi, sekolah anak, pembayaran listrik, air bersih dan kebutuhan lainnya. Masih ada anak dari mereka harus putus sekolah karena biaya pendidikan yang mahal, atau pengeluaran tersebut adalah pengeluaran yang minimum. Kekurangan memenuhi kebutuhan harian biasanya biasanya ditutup dengan berhutang ke pinjaman online atau pendapatan tersebut dicukup-cukupkan untuk bertahan. Isu pendatang menjadi persoalan tersendiri sebagai warga Jakarta yang berimplikasi pada pengakuan dan pemenuhan hak warga Jakarta. Situasi tersebut diatas, disebabkan sulitnya perempuan mengakses pekerjaan yang layak dan tersedia yang sesuai dengan kapasitas dan pengetahuan yang dimiliki. Situasi ketimpangan ekonomi dan gender telah melahirkan kemiskinan yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan dan tidak dianggap sebagai warga negara yang penting untuk terlibat dalam rapat pengambilan keputusan untuk membawa dan menyuarakan situasi, pengalaman dan kepentingannya. Sementara Dr.drg Heny Mayawati MK3, Kepala Pusat Hiperkes dan Kesehatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta menyarankan kepada forum bahwa jika ada pengaduan bisa langsung ke CRM (Cepat Respons Masyarakat) Jakarta yakni kanal pengaduan DKI Jakarta. Setelah diadukan, maka akan didisposisikan ke dinas terkait.“Perempuan miskin disebabkan karena tidak adanya Akses perempuan. Misalnya tidak akses dalam pengambilan keputusan, tidak ada akses air beraih, pekerjaan yang layak, kesehatan yang baik termasuk akses program subsidi pemerintah. Contohnya program pemerintah Jakpreneur, seringkali perempuan tidak mendapatkan akses bantuan program pemerintah termasuk program Jakpreneur. Sistem patriarki yang menganggap yang harus ikut rapat adalah suami, padahal yang dibahas dalam rapat tersebut adalah urusan kepentingan perempuan. Harapannya pemerintah bisa mendengar dan mengetahui langsung persoalan ketimpangan dan kemiskinan perempuan agar program Jakpreneur dari pemerintah tepat sasaran dan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan dapat ditangani secara langsung.” - Risma Umar, Aksi! For Gender, Social and Ecological Justice.Eni dari Penjaringan mengemukakan bahwa realitanya tidak sebagus yang ia bayangkan, kita memiliki banyak persoalan. Bagaimana pemerintah melakukan monitoring kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran seperti PHK sepihak, seperti cuti hamil, dan lain-lain? Kenapa bantuan sering tidak tepat sasaran, seringkali yang dapat adalah orang dekat dan keluarga?. Sementara Taskini dari Papanggo, membahas mengenai hak atas air bersih, Indonesia punya hak atas air, tapi air tetap saya beli dengan sejam per 24 ribu. Bagaimana saya bisa punya kehidupan layak kalau uang yang seharusnya saya tabung malah saya pakai beli air?. Kemudian Tasmania dari Pulau Pari menyampaikan bahwa tidak diakuinya perempuan nelayan di KTP, sehingga terhambat perlindungan bantuan dari pemerintahan. Muhayati mengeluhkan bahwa pekerja informal masih minim perlindungan haknya sebagai pekerja. Hari ini pekerja informal mesti dihadapkan dengan kerja yang tidak layak dan upah yang tidak layak. Sementara Neneng sebagai Warga Kampung Bayam mengingatkan pemerintah bahwa ada warga yang tidak pasti nasib dan masa depannya akibat pengabaian pemerintah terhadap tempat tinggal warga kampung bayam. Kontak: Renie Aryandani (082292282338)