
Krisis Pangan di Tengah Proyek Iklim: Mempertajam Ketidakadilan Gender
Jakarta, 16 Oktober 2024 – Kita memperingati Hari Pangan Internasional, mengakui peran penting perempuan baik dalam pengolahan lahan, produksi, dan pengolahan pangan, dan bahkan ketahanan/kedaulatan pangan . Perempuan pedesaan adalah tulang punggung komunitas mereka, namun mereka terus menghadapi tantangan besar yang diperburuk oleh krisis ekonomi dan krisis iklim
Perempuan pedesaan berjuang keras menghadapi dampak deflasi yang berkepanjangan sejak Mei hingga Agustus 2024 (BPS, 2024). Bahkan penduduk kelas menengah terus menyusut akibat PHK besar-besaran pekerja perempuan sejak masa pandemi dari 21, 45% dari total penduduk Indonesia, kini tinggal 17,44% (BPS, 2024). Perempuan pekerja kehilangan pekerjaan, membuat uang tunai dari penghasilan mereka semakin sedikit atau sulit diperoleh. Di satu sisi terjadi kenaikan harga pangan, di sisi lain hasil pertanian yang jatuh telah mengurangi pendapatan rumah tangga terutama di pedesaan. Meskipun dalam situasi sulit tersebut, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk tetap membelanjakan uang demi stabilitas ekonomi nasional
Dalam situasi sulit tersebut, perempuan sebagai pengelola utama sumber daya rumah tangga, telah mengalami dan menanggung beban dan tekanan ekonomi, membatasi kemampuan dan kebutuhan mereka untuk layanan kesehatan, pendidikan bagi keluarganya dan membatasi kemampuannya membeli makanan bergizi bagi keluarganya.
Pemerintah yang telah abai untuk melindungi sumber pangan dan mata pencaharian perempuan pedesaan dan mendukung penguatan ekonomi perempuan karena pemerintah justru terus menerus mengeluarkan kebijakan pro-investasi yang mendukung kepentingan perusahaan swasta daripada kebutuhan pangan perempuan pedesaan dan pesisir. Melalui berbagai kebijakan dan mega proyek investasi sebagai proyek iklim solusi palsu- seperti proyek energi panas bumi/geothermal, PLTA, PLTB, dan Food Estate serta mega proyek infrastruktur lainnya.
Proyek-proyek investasi tersebut telah menimbulkan dampak perampasan tanah, penggusuran dan alih fungsi lahan secara masif, penurunan penghasilan, kriminalisasi petani dan nelayan. Padahal tanah atau lahan tersebut merupakan sumber utama produksi pangan yang menopang ketercukupan pangan dan keberlanjutan kehidupan perempuan pedesaan dan pesisir.
Ketergantungan pada Impor Pangan dan Situasi Krisis Pangan di Indonesia
Ketergantungan Indonesia pada impor pangan masih tinggi (BPS 2024), ini tidak hanya menciptakan kerentanan dalam ketahanan pangan nasional, tetapi juga mengabaikan potensi besar yang dimiliki oleh produsen pangan lokal .
Sistem pangan global yang semakin mengglobalisasi dan mendominasi pasar telah memperburuk krisis pangan lokal. Ketergantungan pada impor bahan pangan tidak sejalan dengan upaya memperkuat kedaulatan pangan lokal, yang seharusnya menjadi prioritas di negara dengan potensi agraris sebesar Indonesia. Peran perempuan dalam menjaga sistem pangan lokal sering kali terpinggirkan oleh proyek-proyek pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Proyek Iklim dan Pembangunan Mengabaikan Hak-Hak Perempuan Produsen Pangan
Banyak proyek iklim yang dijalankan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap perempuan, terutama mereka yang bergantung pada lahan dan sumber daya alam lokal. Pengembangan infrastruktur besar yang merampas tanah-tanah produktif di desa juga mengakibatkan perempuan produsen pangan semakin rentan secara ekonomi dan sosial. Kebijakan pembangunan justru memperburuk posisi perempuan dengan meminggirkan hak atas tanah dan akses mereka terhadap sumber daya alam.
Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), perempuan di sektor pertanian memainkan peran penting dalam menjaga keberlanjutan sistem pangan. Namun, akses mereka terhadap sumber daya—seperti tanah, air, dan modal—seringkali sangat terbatas, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Laporan ini menunjukkan bahwa jika perempuan mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya produktif, produksi pangan bisa meningkat hingga 30%, cukup untuk mengurangi jumlah orang yang kelaparan secara signifikan.
Pemerintah mesti segera menghentikan proyek-proyek pembangunan dan iklim yang merugikan produsen pangan lokal. Kedaulatan pangan lokal harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan, dengan memastikan bahwa perempuan produsen pangan dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan keputusan terkait akses dan penggunaan lahan.
Kedaulatan pangan bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga soal keadilan gender dan keberlanjutan ekologi. Pemerintah harus mengakui bahwa perempuan adalah pelaku utama dalam menjaga ketahanan pangan, dan memastikan bahwa mereka mendapatkan akses yang adil terhadap sumber daya alam.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Renie Aryandani (082292282338)
Public Information and Communication Staff
Aksi! for gender, social and ecological justice.