Geothermal sebagai Solusi Iklim Palsu Menyulut Pelanggaran HAM di Pocoleok

Jakarta, 6 Oktober 2024. Tanggal 2 Oktober 2024 menandai hari kelam bagi masyarakat adat di Pocoleok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di hari itu  aparat keamanan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol PP, bersama dengan PLN dan pemerintah daerah, secara paksa memasuki lahan warga untuk melakukan survei pengembangan proyek Geothermal PLTP Ulumbu. Meskipun masyarakat adat secara tegas menolak proyek ini dan Komnas HAM sedang melakukan investigasi  pelanggaran HAM di lokasi tersebut, aksi brutal ini tetap terjadi. Prinsip FPIC yaitu persetujuan berdasarkan informasi awal, diberikan secara bebas dan tanpa paksaan (free, prior and informed consent), diabaikan, dan terjadi pelanggaran HAM lewat kekerasan fisik dan psikologis terhadap warga. Kejadian ini  mempertegas bahwa proyek geothermal yang merupakan solusi iklim palsu dan makin banyak dikembangkan di Indonesia,  merupakan pemicu pelanggaran HAM.

Geothermal: Solusi Iklim Palsu yang Memicu Pelanggaran HAM

Pengembangan energi geothermal sering dipromosikan sebagai solusi berkelanjutan untuk krisis iklim, dengan dalih bahwa energi panas bumi adalah energi terbarukan dan bersih. Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Di banyak wilayah Indonesia, termasuk di Pocoleok, Nusa Tenggara Timur, proyek geothermal terbukti membawa dampak merugikan bagi lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal dan adat. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan ekologis, tetapi juga menciptakan krisis sosial yang serius.

Pertama, proses eksplorasi dan eksploitasi geothermal melibatkan pengeboran yang dalam ke dalam perut bumi, sehingga berpotensi memicu bencana alam seperti gempa bumi, terutama di daerah rawan gempa seperti Pocoleok yang berada di zona ring of fire. Aktivitas pengeboran ini mengganggu kestabilan tanah dan sering kali menimbulkan getaran seismik, yang meningkatkan risiko gempa buatan atau gempa induksi. Kasus ini telah banyak terjadi di wilayah lain di dunia yang mengembangkan geothermal seperti di Korea Selatan, Italia dan Swiss. Selain itu, eksploitasi geothermal berpotensi mencemari sumber air bersih. Sumber-sumber air yang menjadi tumpuan utama masyarakat  di sekitar proyek geothermal tercemar oleh zat-zat kimia beracun yang dilepaskan selama proses pengeboran. Di beberapa lokasi geothermal lain, seperti di Dieng dan Kamojang, kebocoran zat berbahaya seperti H2S (Hydrogen Sulfide), gas beracun yang sangat mematikan, telah tercatat meracuni udara di sekitar lokasi proyek. Zat ini bisa menimbulkan dampak kesehatan serius bagi warga, mulai dari gangguan pernapasan hingga kematian, sebagaimana yang terjadi di proyek geothermal Sorik Marapi di Sumatera Utara. Kebocoran H2S di sana pada tahun 2021 menyebabkan kematian lima warga dan lebih dari seratus lainnya mengalami keracunan.

Tidak hanya itu, penambangan panas bumi juga membutuhkan pasokan  air dalam jumlah yang sangat besar untuk proses injeksi dan pendinginan. Akibatnya, pasokan air untuk keperluan irigasi pertanian dan kebutuhan rumah tangga masyarakat setempat berkurang drastis. Ironisnya, proyek yang diklaim sebagai solusi krisis iklim justru memperparah krisis air yang sudah melanda banyak wilayah di Indonesia, termasuk NTT yang dikenal sebagai daerah yang rawan kekeringan.

Secara ekonomi, geothermal juga meminggirkan warga  setempat. Sebagian besar tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proyek geothermal adalah tenaga ahli dari luar daerah, sehingga hanya sedikit sekali masyarakat setempat  yang dipekerjakan. Selain itu, pengembangan proyek ini sering kali tidak memperhitungkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang terhadap masyarakat yang tanahnya tergusur dan mata pencahariannya hancur. Tanah adat yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat, terutama untuk bertani dan berladang, kini berubah menjadi area industri yang tidak dapat lagi mereka manfaatkan dan tercemar.

Di Pocoleok, ketidakadilan ini semakin terlihat jelas ketika masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam dipaksa untuk menerima penggusuran dan perampasan lahan mereka, tanpa kompensasi yang memadai. Padahal, wilayah ini memiliki nilai spiritual yang tinggi bagi masyarakat adat Manggarai, di mana tanah dan alam dipandang sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal roh leluhur. Kehilangan tanah berarti kehilangan identitas, sejarah, dan koneksi spiritual masyarakat dengan nenek moyang mereka.

Aksi! for gender, social, and ecological justice menilai bahwa solusi iklim seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek pengurangan emisi karbon, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat lokal. Pengembangan geothermal yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan merusak lingkungan secara sistematis, hanya memperparah krisis yang ada. Alih-alih menjadi solusi, geothermal telah menjadi penyebab baru dari ketidakadilan sosial dan ekologi.

Proyek geothermal seperti di Pocoleok sebagian besar didanai lembaga keuangan internasional yang mempromosikan transisi energi rendah karbon. Namun, dalam pelaksanaannya, proyek ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan iklim yang mengedepankan hak masyarakat adat, keadilan gender, dan keberlanjutan sosial dan  lingkungan. 

Kami mengutuk keras tindakan pemaksaan perluasan Proyek PLTP Ulumbu dan menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera: 

Menghentikan Perluasan Proyek PLTP Ulumbu 

Pemerintah harus segera menghentikan perluasan proyek PLTP Ulumbu dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi akibat operasi PLTP ini sebelumnya. PLTP bukan merupakan solusi iklim, tetapi penambah beban perubahan iklim yang sudah terjadi atas kehidupan warga. 

Selain itu, kami mendesak PLN dan KfW untuk menghormati keinginan masyarakat adat Pocoleok yang menolak perluasan PLTP Ulumbu dan segera menghentikan segala aktivitas di lapangan.  

Meminta Pertanggungjawaban Aparat Keamanan  

Kami menuntut penyelidikan menyeluruh atas tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh pasukan keamanan serta meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Menghentikan Kriminalisasi Warga dan Jurnalis  

Pemerintah harus mencabut segala tuntutan yang dikenakan pada warga dan jurnalis yang ditangkap serta memberikan reparasi yang memadai bagi mereka yang mengalami trauma fisik dan psikologis akibat tindakan represif tersebut.

Lindungi Perempuan Adat yang Melawan

Pemerintah harus memberi perlindungan serta jaminan keamanan kepada perempuan-perempuan adat yang sedang memperjuangkan haknya.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Renie Aryandani (082292282338)

Public Information and Communication Staff

Aksi! for gender, social and ecological justice.